Dua Pasang Hati
A
A
A
Tanpa menoleh lagi, Keenan meninggalkan keempatnya terperangah melihat kelakuan judesnya kumat lagi.
Perasaan Lara mendadak kalut serta nggak enak hati, kelihatannya Keenan marah lagi padanya. Echa, Ardio dan Gavin memberinya isyarat agar Lara membasuh luka Keenan di dalam. “Sana, Ra. Ntar macan ngamuk lagi. Buruaaan...” Echa mengibaskan tangannya, menyuruh sahabatnya itu masuk ke vila. Lara mengangkat bahunya pasrah, tetapi ia akhirnya masuk ke vila, menyusul Keenan.
The game just started! Gumam seseorang di hatinya, yang disertai uraian senyum mengembang di bibirnya. Sambil geleng-geleng kepala pasrah, Keenan membalut luka bakar di lengannya hati-hati. Rasa sakit yang mulai menyerang lengannya ini, tidaklah seberapa dibandingkan perasaannya yang sekarang jauh lebih kesal pada dirinya sendiri. Meski harus terluka karena Lara, dia tidak marah sedikit pun. Melainkan hanya bisa pasrah karena tahu gadis itu benar-benar teledor.
“Keenan,” Lara berucap pelan, tak berani menatap mata Keenan. Cowok itu menoleh pada Lara. “Kenapa?” Suaranya masih dingin. Lara merasa menyesal setelah tahu, Keenan sudah membebat tangannya sendiri. Ia rasanya ingin mengetuk kepala bodohnya ini, karena tidak hati-hati. Ia pun duduk diam di samping Keenan yang sejak tadi sibuk sendiri menekan-nekan tangannya.
“Mana yang sakit, sini biar gue pijet,” Ia memberanikan diri untuk membantu Keenan. “Nggak perlu, udah gue bebet. Lima hari juga sembuh,” ketus cowok itu sambil menatap Lara tajam. “Sori ya, Nan. Gue nyusahin lo lagi,” Lara menundukkan kepalanya, nggak enak hati.
“Kapan sih lo berhenti nyusahin gue?” Pertanyaan yang selalu sama menohok hati Lara dalam-dalam, sesudahnya gadis itu cuma bisa menghela nafas penyesalan, “Iya gue tau, kerjaan gue selalu buat lo sial. Makanya gue minta maaf sama lo, Nan.” Keenan hanya memandang wajah Lara yang cemberut karena kesalahannya. “Nggak usah mengkerut gitu mukanya, gue kan bilang nggak pa-pa,” ujar Keenan sesudah dia merasa tenang.
“Nggak pa-pa gimana? Tuh, tangan lo aja udah mulai merah gara-gara gue! Tangan kanan pula, besok gimana kalo lo balik praktek, terus nggak bisa pake tangan...” Keenan menunjukkan tangan kirinya pada Lara, gadis itu berhenti berceloteh mendadak. “Tangan gue nggak cuma satu. Lupa?” Tetep ya, walaupun Keenan menatapnya tanpa ekspresi, jantungnya sudah mau keluar dibuatnya. “Tapi kan lo nggak kidal, Nan...” “Gue bisa pake tangan kiri. Lebay lo, gitu doang langsung panik.”
“Siapa yang nggak panik, kalo tangan kanan yang kenapa-napa? Coba kalo nggak bisa sembuh, mau ganti tangan dokter lo pake apaan coba?” Lara berceloteh panjanglebar. Keenan tersenyum diam-diam sambil menatap Lara, saat paham apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Lantas, cowok itu bangkit berdiri, mendekatkan wajahnya pada Lara, “Khawatir amat lo sama gue. Lupa kalo lo ceweknya adek gue?” sindirnya kemudian. Beberapa detik seterusnya, wajah Lara berubah semerah kepiting rebus, begitu cowok itu membaca perasaannya.
Ia melempar bantal sejadi-jadinya pada Keenan, saking malunya, kemudian berbalik badan meninggalkan cowok itu sendirian. Tiga orang lainnya di vila itu, diam-diam mengawasi tingkah Keenan dan Lara penuh senyuman puas. Minum teh... nggak jadi, minum coke pun, Lara nggak doyan. Tapi kenapa... malam ini Lara sulit tertidur? Ia pun melirik jam weker yang ada di samping tempat tidurnya, waktu di Bali ini... sudah menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh menit.
Sementara sahabatnya, Echa sudah mendengkur keras-keras, dengan posisi tidur paling unik; mulut mangap dengan mata terpejam. Gue bales lo, Cha! Lara memekik jahil dalam hati, ia menyambar handph one milik sobatnya itu kemudian memotret wajah konyol Echa yang tertidur pulas. Selanjutnya, ia cepatcepat mencari kontak BBM Ardio, lalu mengirimnya pada cowok itu.
“Satu sama! Bweeek!” Lara melet-melet, tetapi selanjutnya gadis itu malah menyelimuti Echa, agar sahabatnya itu nggak merasa kedinginan. (bersambung)
OLEH:
Vania M. Bernadette
Perasaan Lara mendadak kalut serta nggak enak hati, kelihatannya Keenan marah lagi padanya. Echa, Ardio dan Gavin memberinya isyarat agar Lara membasuh luka Keenan di dalam. “Sana, Ra. Ntar macan ngamuk lagi. Buruaaan...” Echa mengibaskan tangannya, menyuruh sahabatnya itu masuk ke vila. Lara mengangkat bahunya pasrah, tetapi ia akhirnya masuk ke vila, menyusul Keenan.
The game just started! Gumam seseorang di hatinya, yang disertai uraian senyum mengembang di bibirnya. Sambil geleng-geleng kepala pasrah, Keenan membalut luka bakar di lengannya hati-hati. Rasa sakit yang mulai menyerang lengannya ini, tidaklah seberapa dibandingkan perasaannya yang sekarang jauh lebih kesal pada dirinya sendiri. Meski harus terluka karena Lara, dia tidak marah sedikit pun. Melainkan hanya bisa pasrah karena tahu gadis itu benar-benar teledor.
“Keenan,” Lara berucap pelan, tak berani menatap mata Keenan. Cowok itu menoleh pada Lara. “Kenapa?” Suaranya masih dingin. Lara merasa menyesal setelah tahu, Keenan sudah membebat tangannya sendiri. Ia rasanya ingin mengetuk kepala bodohnya ini, karena tidak hati-hati. Ia pun duduk diam di samping Keenan yang sejak tadi sibuk sendiri menekan-nekan tangannya.
“Mana yang sakit, sini biar gue pijet,” Ia memberanikan diri untuk membantu Keenan. “Nggak perlu, udah gue bebet. Lima hari juga sembuh,” ketus cowok itu sambil menatap Lara tajam. “Sori ya, Nan. Gue nyusahin lo lagi,” Lara menundukkan kepalanya, nggak enak hati.
“Kapan sih lo berhenti nyusahin gue?” Pertanyaan yang selalu sama menohok hati Lara dalam-dalam, sesudahnya gadis itu cuma bisa menghela nafas penyesalan, “Iya gue tau, kerjaan gue selalu buat lo sial. Makanya gue minta maaf sama lo, Nan.” Keenan hanya memandang wajah Lara yang cemberut karena kesalahannya. “Nggak usah mengkerut gitu mukanya, gue kan bilang nggak pa-pa,” ujar Keenan sesudah dia merasa tenang.
“Nggak pa-pa gimana? Tuh, tangan lo aja udah mulai merah gara-gara gue! Tangan kanan pula, besok gimana kalo lo balik praktek, terus nggak bisa pake tangan...” Keenan menunjukkan tangan kirinya pada Lara, gadis itu berhenti berceloteh mendadak. “Tangan gue nggak cuma satu. Lupa?” Tetep ya, walaupun Keenan menatapnya tanpa ekspresi, jantungnya sudah mau keluar dibuatnya. “Tapi kan lo nggak kidal, Nan...” “Gue bisa pake tangan kiri. Lebay lo, gitu doang langsung panik.”
“Siapa yang nggak panik, kalo tangan kanan yang kenapa-napa? Coba kalo nggak bisa sembuh, mau ganti tangan dokter lo pake apaan coba?” Lara berceloteh panjanglebar. Keenan tersenyum diam-diam sambil menatap Lara, saat paham apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Lantas, cowok itu bangkit berdiri, mendekatkan wajahnya pada Lara, “Khawatir amat lo sama gue. Lupa kalo lo ceweknya adek gue?” sindirnya kemudian. Beberapa detik seterusnya, wajah Lara berubah semerah kepiting rebus, begitu cowok itu membaca perasaannya.
Ia melempar bantal sejadi-jadinya pada Keenan, saking malunya, kemudian berbalik badan meninggalkan cowok itu sendirian. Tiga orang lainnya di vila itu, diam-diam mengawasi tingkah Keenan dan Lara penuh senyuman puas. Minum teh... nggak jadi, minum coke pun, Lara nggak doyan. Tapi kenapa... malam ini Lara sulit tertidur? Ia pun melirik jam weker yang ada di samping tempat tidurnya, waktu di Bali ini... sudah menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh menit.
Sementara sahabatnya, Echa sudah mendengkur keras-keras, dengan posisi tidur paling unik; mulut mangap dengan mata terpejam. Gue bales lo, Cha! Lara memekik jahil dalam hati, ia menyambar handph one milik sobatnya itu kemudian memotret wajah konyol Echa yang tertidur pulas. Selanjutnya, ia cepatcepat mencari kontak BBM Ardio, lalu mengirimnya pada cowok itu.
“Satu sama! Bweeek!” Lara melet-melet, tetapi selanjutnya gadis itu malah menyelimuti Echa, agar sahabatnya itu nggak merasa kedinginan. (bersambung)
OLEH:
Vania M. Bernadette
(ars)